Kamis, 14 Maret 2013

PRODUK PERBANKAN SYARIAH DAN PENERAPANNYA PADA SEKTOR PERTANIAN

Pembangunan pertanian merupakan salah satu sektor utama dalam pembangunan nasional, hal ini berkaitan dengan peran sektor pertanian dalam penyediaan lapangan pekerjaan, penyumbang PDB, sebagai penghasil pangan, pakan dan energy serta sektor pertanian yang lebih fleksibel terhadap gejolak krisis ekonomi seperti yang terjadi pada krisis ekonomi tahun 1997/1998 yang mana sektor yang tetap bertahan adalah pertanian. Angkatan kerja yang bekerja disektor pertanian mencapai 40,3 persen dari seluruh angkatan kerja (BPS, 2010). Penggunaan lahan oleh sektor pertanian mencapai 71,33 persen dan juga sebagai penyumbang PDB sebesar 15,60 persen dari total PDB.
Pertumbuhan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan perkapita dan kesadaran masyarakat terhadap makanan yang bergizi tinggi, serta kebutuhan energy fosil yang semakin menipis menyebabkan sektor pertanian menjadi sangat penting dalam meningkatkan perekonomian masyarakat dan nasional, maka orientasi pembangunan pertanian diarahkan kepada model sistem agibisnis yang serasi dan terpadu dengan keterkaitan yang erat antara berbagai subsistemnya. Subsistem dalam agribisnis tersebut adalah subsistem sarana produksi pertanian (agro input), subsistem usaha tani (on farm), subsistem pengolahan dan pemasaran (off farm) serta subsistem penunjang (penelitian, penyuluhan dan pembiayaan).
Peran sektor pertanian sangat besar dalam pembangunan perekonomian jika dilihat dengan kaca mata agribisnis. Kegiatan budaya pertanian akan berdampak terhadap bergeraknya kegiatan input produksi dalam penyediaan benih/bibit, pupuk, fungsida, pakan, vaksin dan obat-obatan. Akan menyebabkan bergeraknya sektor hilir yaitu, pemasa
Perbankan syariah di Indonesia sudah dimulai semenjak zaman orde baru yaitu dengan diresmikannya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992. Namun dalam perjalanannya banyak mengalami kendala salah karena berbagaimasalah salah satunya adalah unit-unit perbankan syariah masih terbatas dan pemahaman masyarakat masih rendah dengan sistem syariah. Pasca reformasi perbankan syariah mulai diminati oleh masyarakat seiring dengan tumbuhnya kesadaran umat muslim untuk kembali pada syariat Islam salah satunya adalah perbankan. Perbankan konvensional sudah mulai membuat skim-skim syariah, karena menyadari sebagian besar penduduk Indonesia adalah muslim.
Dengan berkembangnya perbankan syariah atau lembaga pembiayaan syariah diharapkan dapat menunjang peningkatkan perekonomian masyarakat terutama kalangan menengah kebawah. Hal ini didasari dari pendirian perbankan syariah yang bertumpu pada perekonomian di sector riil serta tujuannya sebagai perbankan investasi yang berkeadilan. Berbeda dengan perbankan konvensional yang berbasiskan bungan (interest) sehingga bank adalah selalu menjadi pihak yang tak pernah rugi walaupun nasabah merugi dalam dunia usaha. Kondisi demikian sangat bertolak belakang dengan usaha disektor rill yang beresiko tinggi sehingga perlu kehati-hatian dan manajemen yang baik.
Salah satu kegiatan ekonomi sector rill yang diharapkan dapat  menggunakan pembiayaan syariah adalah sector pertanian. Beberapa hal yang melatarbelakangi adalah sektor pertanian masih memainkan peran sangat strategis dalam perekonomian nasional. Sektor ini tetap menjadi andalan sebagai sumber pendapatan dan mata pencaharian 40 % dari  penduduk Indonesia, penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB), sumber devisa negara, serta pemasok bahan baku sekaligus pasar bagi sektor industri. Bahkan, ada peran sektor pertanian yang tidak mungkin digantikan sektor lain yaitu sebagai sumber bahan pangan. Namun demikian, sektor pertanian masih saja menghadapi permasalahan yang cukup pelik, terutama permodalan.
Pembangunan sektor pertanian masih trlihat pincang, karena tidak adanya hubungan yang terintegrasi antara kegiatan di sektor on farm dengan off farm serta sektor penunjanglainnya, bahkan masing sektor berjalan sendiri-sendiri. Ketiadaan hubungan tersebut berimplikasi pada petani hanya bergerak pada kegiatan on farm saja sedangkan kegiatan pemasaran dilakukan oleh para pedagang perantara yang akhirnya menyebabkan panjangnya rantai pemasaran produk pertanian. Disisi lain kepincangan pembangunan pertanian adalah tidak adanya lembaga pembiayaan khusus untuk pertanian sehingga berimplikasi pada sulitnya para petani untuk mendapatkan modal untuk pengembangan usaha. Selama ini pembiayaan pertanian diserahkan saja pada bank umum dengan program kredit yang disubsidi pemerintah.  Namun petani sangat sulit untuk mengaksesnya karena pihak bank sangat memberikan persyaratan yang ketat, kehati-hatian bank sangat tinggi terhadap pembiayaan pertanian karena pada dasarnya bisnis pada sektor pertanian sangat beresiko tinggi, hal ini lah yang menjadi alsan bagi pihak perbankan berhati-hati dalam memberikan kredit dan memang pada dasarnya kehati-hatian (prudent) adalah ciri dari lembaga perbankan.
Nilai kredit perbankan untuk sector pertanian pada tahun 2009 mencapai angka Rp 77,412 trilyun, atau sekitar 5,69 persen dari total keseluruhan kredit perbankan. Angka ini menglami peningkatan hingga Rp 117,52 trilyun per Februari 2012 (biek, 2011)[1]. Hal ini menujukan bahwa skala pembiayaan pertanian masih sangat kecil bahkan angka tersebut jauh di bawah pembiayaan untuk sektor lain seperti perindustrian dan perdagangan, restoran dan hotel, serta pengangkutan, karena pihak perbankan belum tertarik untuk meningkatkan proporsi pembiayaan sektor ini. Berbagai jenis kredit program yang diluncurkan pemerintah untuk sektor pertanian, seperti kredit Bimas, Inmas, kredit usaha tani (KUT), serta kredit ketahanan pangan (KKP) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Namun, kredit program masih belum cukup optimal dalam memberdayakan petani yang ditunjukkan oleh masih lemahnya kemampuan petani dalam permodalan. Selain dari kredit program dan bank komersial, pembiayaan pertanian di pedesaan juga banyak ditopang lembaga kredit nonformal, seperti para pembunga uang (money lenders) yang berprofesi sebagai pedagang output, pedagang input, pemilik penggilingan padi ataupun para petani kaya.
Salah satu ciri paling menonjol dari kredit pertanian baik formal maupun nonformal adalah skim kredit tersebut selalu berbasis bunga (interest), padahal sektor pertanian yang sarat dengan risiko memiliki peluang kegagalan yang tinggi, baik dalam produksi maupun jatuhnya harga. Jika petani gagal dalam usaha taninya, di samping tidak akan mampu mengembalikan pinjaman, mereka juga dapat terjerat hutang yang makin lama makin membengkak. Model kredit ini juga membebankan segala risiko usaha hanya kepada peminjam (petani), sementara pemilik dana selalumendapat untung sebesar tingkat bunga yang telah ditetapkan. Untuk menjamin rasa keadilan, perlu dicari pembiayaan alternative yang sesuai dengan sifat sektor pertanian. Salah satu lembaga pembiayaan yang mulai berkembang adalah pembiayaan syariah.
Secara teori, ada tiga hal yang menjadi penciri dari pembiayaan berbasis syariah, yaitu (1) bebas bunga, (2) berprinsip bagi hasil dan risiko, dan (3) perhitungan bagi hasil tidak dilakukan di muka yang pada dasarnya sangat sesuai dengan karakteristik kegiatan sector pertanian dan juga terkait dengan sebagian besar petani adalah Muslim. Berbeda dengan kredit konvensional yang memperhitungkan suku bunga di depan, ekonomi syariah menghitung hasil setelah periode transaksi berakhir. Hal ini berarti dalam pembiayaan syariah pembagian hasil dilakukan setelah ada keuntungan riil, bukan berdasar hasil perhitungan spekulatif. Sistem bagi hasil ini dipandang lebih sesuai dengan iklim bisnis yang memang mempunyai potensi untung dan rug
Secara umum produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu produk penyaluran dana, pengimpunan dana, produk yang berkaitan dengan jasa yang diberikan kepada nasabahnya[2]. Pada produk penghimpunan dana skim yang digunakan adalah berupa wadi’ah dan mudharobah. Untuk menyalurkan dana pembiayaan syariah/ perbankan syariah menggunakan skim prinsip jual beli (ba’i), prinsip sewa (ijaroh) dan prinsip bagi hasil (syirkah). Sedangkan pada produk jasa menggunakan skim jual beli valuta asing (sharf) dan sewa (ijaroh).
Hampir seluruh perbankan konvensional memperlakukan sistem bunga (interest) dalam menjalankan fungsinya sebagai penghimpun dan menyalurkan dana kepada nasabahnya. Sistem bunga pada dasarnya sangat berbahaya bagi pembiayaan pada sector rill termasuk bidang pertanian karena beresiko tinggi (high resico). Berkaitan dengan hal tersebut pembiayaan syariah sangat berpotensi dalam pembiayaan pada sector pertanian karena produk-produk perbankan syariah bebas dari bunga. Secara umum produk pembiayaan syariah terbagi atas produk berbasis bagi hasil, produk berbasis jual beli dan produk berbsis zakat.
1.         Produk Berbasis Bagi Hasil
Produk pembiayaan syariah berbasis bagi hasil terdiri dari dua akad utama yaitu mudharabah dan musyarokah, pengertian dari masing-masing skim tersebut sebagai berikut :
1.1.      Mudharabah
Mudharabah (trust financing/ trust investment) merupakan akad kerjasama dua pihak, dimana pihak pertama (pemilik modal/ shahibul mal) sebagai penyedia modal (100 %), sedangkan pihak lain sebagai pengelola modal (mudharib) memiliki skill dalam usaha yang akan dijalankan. Pembagian keuntungan atau nisbah pada sistem ini tergantung pada akadnya dari awal apakah dilakukan berdasarkan untung dan rugi (profit and loos sharing) atau berdasarkan metode bagi pendapatan (revenue sharing). Sebagai pemilik modal Bank tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha tetapi hanya memiliki hak untuk dalam pengawasan dan pembinaan nasabah. Sebagai seorang penerima pembiayaan (mudharib)  behati-hati dan bertanggung jawab untuk setiap kerugian dari kelalaian.
Landasan hukum dari sistem mudharabah adalah firman Allah dalam surat Al- Muzammil ayat 20 yaitu: “Dan orang-orang di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT”  dan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu majah :” tiga perkara didalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan pembayaran secara tangguh, muqaradah (nama lain mdharobah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk di jual.
Dalam literature fiqih, musyrokah dan mudharobah berbentuk perjanjian kepercyaan (uqud al amanah) yang menuntut tingkat tingkat kejujuran yang tinggi dan menjunjung keadilan. Karenanya masing-masing pihak harus menjaga kejujuran untuk kepentingan bersama dan setiap usaha dari masing-masing pihak untuk melakukan kecurangan dan ketidakadilan pembagian pendapatan betul-betul akan merusak ajaran Islam. Ketentuan umum sistem mudharobah sebagai berikut :
1)         Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal harus diserahkan tunai, dapat berupa uang atau barang yang dinayatakan nilainya dalam satuan uang. Apabila modal diserahkan secara bertahap, harus jelas tahapannya dan disepakati bersama.
2)         Hasil dari pengelolaan modal pembiayaan mudharobah dapat diperhitungkan dengan dua cara : perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing) dan perhitungan dari keuntungan proyek (profit loss sharing).
3)         Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad pada setiap bulan atau waktu yang disepakati. Selaku pemilik modal, bank menanggung seluruh kerugian, kecuali akibat kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah, seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan dana.
4)         Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan, namun tidak bberhak mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah. Jika nasabah cidera janji dengan sengaja, misalnya tidak membayar kewajiban atau menunda pembayaran kewajiban, maka dapat dikenakan sanksi administrasi.

1.2.      Musyarokah
Musyarokah (partnership/project finacing participation) merupakan kerjasama dua pihak atau lebih untuk menjalankan kegiatan usaha atau bisnis dimana secara bersama-sama memadukan seruruh sumber daya bauk yang berwujud (tangible) mapun yang tidak berwujud (intangible) dengan resiko ditanggung bersama-sama sesuai kesepakatan.
Secara spesifik bentuk dari kontribusi dari pihak yang bekerjasama dapat berupa dana, barang perdagangan (trading asset), kewirausahaan (entrepreneurship), keahlian (skill), kepemilikan (property), peralatan (equipment), atau intangible asset (seperti hak paten atau goodwill), kepercayaan reputasi (credit worthiness) dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai degan uang.  Dengan merangkum seluruh kontribusi masing-masing.
Jenis usaha yang dapat dibiayai dengan sistem musyarokah antara lain perdagangan, perindustrian, usaha atas dasar kontrak dan lain-lain. Beberapa usaha kongsian yang mirip dengan musyarokah seperti CV, PT, dan Koperasi. Untuk usaha agribisnis skala besar bisa dengan sistem ini, dan pada usaha pertanian skala kecil dapat dengan skim muzaro’ah. Sistem muzaroah adalah penyereahan pengelolaan lahan pertanian kepada seseorang yang mau untuk menggarap dengan perjajian bagi hasil. Biasanya penyediaan benih dari pemilik lahan sedangkan pengelola mengeluarkan biaya penggarapan, perawatan dan pemanenan. Sistem ini pada dasarnya sudah sangat lazim dalam kehidupan sehari-hari hampir diseluruh wilayah pedesaan Indonesia yang dikenal dengan sistem skap-menyakap atau paroan[3].
Pada praktek perbangkan, penyediaan dana oleh bank untuk memenuhi sebagian modal suatu usaha tertentu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan dengan nasabah sebagai pihak yang harus melakukan pengelolaan atas investasi sesuai ketentuan akad. Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan bersama-sama menyediakan dana dan atau barang untuk membiayai suatu usaha tertentu. Nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan bank sebagai mitra usaha dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang disepakati (Kementan, 2011)[4].
2.         Produk Berbasis Jual Beli (Ba’i)
Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Pada sisitem ini tingkat keuntungan bank ditentukan didepan dan menjadi harta atas barang yang dijual. Transaksi jual beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang, seperti :
2.1.            Pembiayaan Murabahah
Murabahah berasal dari kata “rib” (keutungan) adalah transaksi jual beli dimana bank menyebut jumlah keuntungannya atau mengambil keuntungan dengan cara menjual lebih tinggi dari harga beli. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok tambah keuntungan. Kedua bela pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Dalam perbankan, murabahah lazimnya dilakukan dengan cara pembayaran cicilan (bi tsaman ajil). Dalam transaksi ini barang diserahkan segera setelah akad, sedangkan pembayaran dilakukan secarah tangguh (deffered paymen) dan harga yang ditentukan dengan dasar fixed mark-up profit.
Landasan syariah sistem murabahah adalah firman Allah dalam surat Al Baqoroh : 125 “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Pada sector pertanian sistem ini bisa diterapkan pada kegiatan budidaya yaitu untuk pembelian sarana produksi (benih, pupuk, obatobatan, dan alat-alat pertanian lainnya). Pada sistem murabahah, lembaga keuangan syariah menjual produ-produk ataubarang-barang kepada nasabah untuk keperluan usaha denga pembayarn diangsur atau sekaligus sesuai kesepakatan dan lembaga keuangan syariah mendapat keuntungan dari margin harga jual barang.

2.2.            Pembiayaan Salam (future trading).
Salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan bekum ada. Oleh karena itu barang diserahkan secara tanguh sedangkan pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai pembeli sedangakan nasabah sebagai penjual produk. Sekilas transaksi ini mirip dengan jual beli ijon pada produk pertanian.
Dlam praktek perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau secara angsuran. Harga yang ditetapkan bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal ini bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus menyetujui harga jual dan jangka waktu serta pembayaran. Adapun ketentuan umum salam sebagai berikut ;
1)         Pembelian hasil produk pertanian harus diketahui spesifikasinya secara jelas, seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya. Misalnya jual beli 100 kg mangga harum manis kualitas “A” dengan harga Rp 5000/kg akan diserahkan pada panen bulan mendatang.
2)         Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad, maka nasabah (produsen) harus bertanggung jawab dengan cara antara lain : mengembalikan dana yang diterimanya atau mengganti sesuai dengan pesanan.
3)         Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua) seperti Bulog, pedagang pasar induk, eksportir atau industri pengolah, mekanisme seperti ini disebut dengan parallel salam.
Model pembiayaan salam pada sector pertanian (Kementan, 2008)[5], sebagai berikut :










Keterangan :
1.      Pembiayaan kepada pelaku usaha pertanian dilakukan melalui SPV (Special Purpose Vechile) yang dibentuk oleh lembaga keungan syariah (LKMS).
2.      Pelaku usaha pertanian berkewajiban mengirimkan produk pertnanian kepada bank (SPV) dimasa yang akan datang.
3.      Pemerintah memberikan penajaminan jika seandainya panen mengalami kegagalan
4.      SPV menyalurkan/ menjual hasil panen langsung ke pasar/ eksportir/ bulog/ perusahaan/ industri.
Landasan syariah sistem salam adalah berdasarkan hadist riwayat Bukhari dari Ibn Abbas, Nabi bersabda :
“Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui” (HR. Bukhari).
2.2.1.   Pembiayaan Istishna
Produk isthisna menyerupai produk salam, namun dalam istihna pembayaran dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Skim ini dalam bank syariah ummnya diaplikasikan pada pembiayaan manufacture dan kontruksi. Ketentuan umum dari istishna adalah : 1) Spesifikasi barang pesanan harus jelas, seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlah, 2) Harga jual yang disepakati dicantumakan dalam akad istishna dan tidak boleh berubah selama berkakunya akad, 3) Jika terjadi perubahan dari kreteria pesanan dan terjadi perubahan harga setelah akad ditandatangani, maka seluruhnya biaya tambahan tetap ditanggung nasabah.
3.      Produk berbasis Sewa (Ijaroh)
Transaksi ijaroh dilandasi adanya perpindahan manfaat, jadi pada dasarnya prinsip ijaroh sama saja dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terdapat pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek trnasaksinya adalah barang, maka pada ijaroh objek transaksinya adalah jasa.
Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakan kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syariah dikenal dengan ijaroh muntahiyah bittamlik (sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian.
Penerapan Pembiyaan Syarian pada Sektor Pertanian
Dari uraian beberapa produk perbankan syariah dalam pembiayaan atau penyaluran dana, maka pada sector pertanian dapat diterapkan pada kegiatan agribisnis. Adapun bentuk pembiayaan dan unit pembiayaannya dapat dijelaskan pada tabel berikut.
Proses/Sub sistem
Jenis kegiatan usaha
Akad Pembiayaan
Hulu
-       Penyediaan lahan
-       Penyediaan bibit/ benih
-       Penyediaan pestisida/fungisida
-       Penyediaan alsin
-       Dan saprodi lainnya
-       Ijaroh (prinsip sewa)
-       Istihna
-       Murabahah
Budidaya
-       Alat dan mesin pertanian (semprot, pemeliharaan, dll)
-       Pembelian pupuk dan obat-obatan
-       Murabahah
-       Istishna
Hilir
-       Penyediaan alsin pasca panen, pengolahan dan transportasi
-       Pemasaran hasil pertanian
-       Murabaahah
-       Ijaroh
-       Istishna
-       Salam
Seluruh Proses Produksi (Hulu-hilir)
-       Permodalan perkongsian (pelaku usaha dan lemabga pembiayaan)
-       Permodalan sepenuhunya lembaga pembiayaan
-       Musyarokah


-       Mudhorobah



[1] Dalam makalah Dr. Irfan Syauki Biek Akselerasi Lima Jalur Pembiayaan Syariah untuk Sektor Pertanian di Indonesia (2012).
[2] Buku Lembaga Keungan Syariah karangan Ahmad Rodoni dan Abdul Hamid (2008).
[3] Jurnal Forum Ekonomi Pertanian “Prospek Pembiayaan Syariah untuk Sektor Pertanian” oleh Ashari dan Saptana.
[4] Pola Pembiayaan Syariah untuk sector pertanian (2011)
[5] Pembiayaan Syariah dalam Pembangunan Pertanian (kmenterian Pertanian, 2008)


1 komentar:

Unknown mengatakan...

INI ADALAH TAHUN BARU LAGI, APAKAH ANDA USAHA MAN / WANITA, A PEKERJA DI ORGANISASI, Wiraswasta? Membutuhkan pinjaman pribadi untuk bisnis tanpa stres, Jika demikian, hubungi kami hari ini, kami menawarkan pinjaman tahun baru pada tingkat bunga rendah dari 2%, Anda dapat memulai tahun baru dengan senyum di wajah Anda, keselamatan, kebahagiaan kami pelanggan adalah kekuatan kita. Jika Anda tertarik, mengisi formulir aplikasi pinjaman di bawah ini:
Informasi Peminjam:

Nama lengkap: _______________
Negara: __________________
Sex: ______________________
Umur: ______________________
Jumlah Pinjaman Dibutuhkan: _______
Durasi Pinjaman: ____________
Tujuan pinjaman: _____________
Nomor ponsel: ________

Untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi kami sekarang melalui email: gloryloanfirm@gmail.com

“NEGARA KAYA TERNAK TIDAK AKAN PERNAH MISKIN”

Sejak dilakukan domestikasi  ( m enjinakan) hewan buruan oleh manusia, yang pada awalnya hanya untuk kebutuhan pangan keluarga sehari-hari, ...